Halo. Apa kabar? Nulis bahasa Indonesia ah~
Pada awalnya, gue pengen banget nulis sesuatu yang reflektif ala-ala new year, new me same old mistakes di awal tahun ini. Namun tentu saja niat tersebut berlabuh di tempat yang sama: wacana. Ya sudah, pikir gue. Mungkin nanti kala ada kejadian menarik yang kayanya bakal lebih representatif untuk diceritakan, gue akan nulis tentang itu (bayanganku: saat skripsiku tembus jstor/mewakili Indonesia dalam acara-acara keren yang membuat gue nampak pintar/mencetak skor ielts 8,5 (hahaha *laughing off damp tearmarks on kaplan book*)). Wew dasar karma, niat itu harus gue tunaikan sekarang karena ada cerita yang ingin gue sampaikan hari ini. Sayangnya cerita ini ga ada sangkut pautnya dengan halusinasi prestasi skripsi atau skor ielts yang gue ceritakan tadi (ya mungkin nanti bund *ada aamiin ku dapat??* *tetep*)
So, I was confirmed COVID-19 positive 2 weeks ago.
Sesiap-siapnya gue untuk kena COVID-19 (iya. bener. habis, ekspektasi apa coba yang cocok lo dibangun ketika 'terjebak' di suatu tempat yang amburadul penanganan pandeminya selain ekspektasi "nunggu sial aja nih gue kapan kenanya"), rasanya tetep aja kaget ketika virus yang tahun lalu masih sebatas mitos bahkan bagi menkes (iya, menkes), yang "engga kok, itu kan di Wuhan sana, ga akan sampe sini", yang dulu cuma gue liat di tipi (liputannya), kini sampe juga di badan gue. Hffft. Cuman gue mau pengakuan dosa ni, mungkin gue jarang keluar rumah, pake masker kalo di luar, dan selalu cuci tangan. Tapi .... gue masih sering banget ketemu sama temen-temen dan lepas masker saat lagi ada di rumah sama mereka. I thought we're safe in the bubble .. but actually no one, i repeat, NO ONE is safe inside and outside the bubble during a pandemic.
Kejadian dimulai ketika suatu hari suami gue mengeluh badannya demam. So unlikely untuk suami gue yang selama ini jarang banget sakit. Gue ukur termometer ko di atas 37,5C ya.... mulai malam itu, kami memutuskan pisah kamar buat mencegah penularan jika ada. Besoknya pun kondisi engga membaik, setelah dia minum paracetamol, demamnya malah sempat naik bahkan hingga 38,5C. Gue sempet konsul pake dokter di halodoc dan dikasih resep penurun panas, obat batuk, dan antibiotik. Setelah 2 hari, kondisi suami gue makin membaik. Meskipun suami gue sempet bilang kalo ini cuma kaya flu biasa, jujur gue was-was banget dan pikiran melanglangbuana ke kemungkinan kena covid. Sejak itu, gue rutin cek temperatur dan saturasi oksigennya. Btw, oxymeter harganya cuma 200rebu, termometer cuma 100 rebu. BELI! lo gakan menyesal ngeluarin 300ribu tuk beli alat ini di kala pandemi gini.
Udah 2 hari dan gejala sakit suami gue akhirnya mereda. Tapi gue tetep khawatir dan langsung watsap dr. Tara, teman SMA-ku yang juga dokter andalanku (Tara, Tara, if you read this know that you are our hero *nangisss*). Tentu saran Tara adalah swab PCR supaya tau pasti apa yang terjadi. Nah kebetulan 2 hari setelah suami gue demam, di kantor suami memang lagi ada jadwal swab... tapi swab antigen. Gue sempet ragu mengizinkan suami gue berangkat ke kantor dalam kondisi mungkin dia infeksius, mungkin dia covid, mungkin dia pingsan di jalan, tapi setelah pagi itu dia ga demam, meyakinkan bahwa dia udah enakan banget badannya, pake masker medis 2 lapis + 1 masker kain, dan berjanji akan jaga jarak, akhirnya dia berangkat.
Singkat cerita, sesuai dugaan... hasil swab antigennya positif dan dia langsung test pcr saat itu juga. Sayangnya, PCR suami gue baru keluar 3 hari mendatang. Lah was-was juga kan. Begitu dikabarin, gue yang lagi kuliah onlen di rumah langsung ga fokus dan langsung cari klinik swab PCR paling deket rumah, gue pun book di SpeedLab Kemang harganya sekitar Rp 875.000. Swab jam 3 sore dan jam 10 malem gue dikabarin kalo PCR gue positif. JRENGG! Saat itu memang hasil swab PCR suami gue belum keluar tapi gue dapet kabar kalo swab antigen hasilnya positif, maka hampir 90% hasil swab PCR akan positif juga. Di titik itu, gue dan suami langsung menyimpulkan bahwa kami berdua Cov+ walau PCR suami gue belom keluar.
Di sinilah kebingungan kami dimulai karena kami minim info mengenai harus ngapain, ini sakit kami parah atau engga, dan minimal harus kemana. Kebingungan ini diperparah dengan dengan kondisi gue yang keesokan hari setelah PCR tiba-tiba merasakan berbagai gejala: demam, meriang, sakit tenggorokan, batuk, lemes, dan badan gue pegel-pegel kaya abis nyangkulin tanah pak harto. Lagi-lagi, langsung tanya Tara harus ngapain. Sebetulnya kami sempat ditawari opsi untuk isolasi di fasilitas dari kantor. Namun, rumor haz it that untuk ke sana cukup antri dan sepertinya akan lebih baik kalau dipake sama yang lebih butuh (misal: orang yang di rumahnya hidup bareng anggota keluarga yang sehat dan harus memisahkan diri agar keluarga yang sehat engga kepapar). Berhubung gue cuma tinggal berdua ama suami dan kita berdua positif juga, yasudah diputuskanlah untuk isolasi mandiri di rumah saja. Thanks to technology, gue nemu thread dr. Febrina di twitter yang kasih guidance gimana cara menerapkan isoman yang aman di rumah. Langkah-langkahnya kurang lebih begini (+dengan penyesuaian kondisi gue ya):
- Hubungi puskesmas terdekat. Gue cari nomor telfon puskesmas dan lapor bahwa gue dan suami PCRnya positif. Lewat telefon pula gue laporan tentang kondisi gue dan suami saat itu (H+1 terkonfirmasi positif) serta gejala apa yang kami rasakan. Pihak puskesmas cukup cepat tanggap di sini. Gue dan suami sempet disuruh dateng ke puskesmas untuk screening darah dan urin. Saat tes, kami dicek saturasi oksigennya pake alat punya puskesmas. Nah di situ juga setelah tahu bahwa gejala kami ringan, kami menolak dirujuk ke Wisma Atlet karena merasa lebih nyaman isolasi di rumah sendiri. Jujur setelah ngisi surat penolakan rujuk, gue kaya dilepas gitu sama pihak puskesmas. Ga ada approach sama sekali dari mereka. Gue dikasi si nomor WA 1 dokter yang bisa gue tanya-tanyain tapi dokternya ga pernah tanya kabar sama sekali, guenya yang inisiatif untuk lapor/nanya. Walaupun tetep akhirnya gue lebih sering konsul dan lapor ke dr. Tara
Waktu dateng ke Puskesmas pas banget lagi ada jadwal penjemputan pasien COVID yang mau dirujuk ke Wisma Atlet dan RS. Sungguh sedih liat 3 bus sekolah ini penuh. - Evacuate. Assess apakah kalian bisa isolasi di rumah atau harus evakuasi ke tempat lain. Tentu ini dipengaruhi berbagai faktor, misal: apakah serumah sama yang sehat, apakah serumah dengan yg punya komorbid, apakah gejala yang dialami ringan/sedang/berat, dan lainnya. Jadi, walaupun kita punya preferensi isolasi mandiri, perhatikan kondisi kesehatan dan gejala yang dialami. Pasien yang kondisi kesehatannya rentan memburuk pasti ga cocok isoman di rumah. Konsultasikan dengan dokter/profesional ya.
- Assess kondisi kesehatan secara berkala. Ga banyak yang bisa dilakukan karena memang kita cek mandiri. Cek mendasar yang dilakukan 2-3 kali sehari yaitu cek temperatur, cek saturasi oksigen dan pulse rate, dan bisa juga ditambah cek tekanan darah. Catat historinya. Gue bikin grup WA yang isinya gue doang dan gue taro semua foto Oxymeter selama isoman serta lapor ke Tara. Segera lapor dokter kalau mengalami hal-hal yang engga biasa atau merasakan gejala yang cukup mengganggu seperti sesak. Jangan lupa kabari keluarga dan teman dekat supaya mereka ga khawatir dan supaya ada yang bisa bantu cepet just in case something not good happen. Hal ini juga mencakup koordinasi dengan keluarga dan tetangga ketika mau isolasi mandiri. Kabari bahwa kalian akan isoman 14 hari ke depan. Dalam kasus gue, karena gue tinggal di apartemen, kami harus ngabarin pihak manajemen gedung bahwa kami + covid. Pihak gedung cukup responsif dan memastikan bahwa mereka akan bantu jika kami butuh apa-apa. Oh ya, karena di apt itu barang kiriman biasanya di drop di lobbi, suami minta tolong sama manajemen gedung supaya barang-barang, makanan, dan obat yang dikirim untuk unit kami bisa dianter sama security gedung sampai depan pintu unit. Sama kaya dr. Febrina, gue juga bayar ekstra untuk ini.
- List what you need. Setelah persiapan tempat isoman oke, koordinasi oke, kami mulai masuk rumah dan ga keluar untuk sekitar 10+4 hari ke depan. Lorong apartemen dan lift yang kami pake langsung dispray disinfectant oleh manajemen apartemen. Orait, untuk pasien covid yang bergejala ringan sebenernya engga banyak yang harus dikonsumsi dan rata-rata yang disarankan pun berupa vitamin, bukan obat. Vitamin yang dikonsumsi per hari: Vitamin C 750mg, D 1000 IU, B complex, Zinc. Gue minum merek Becomzet tuk Zinc B dan C, trus untuk vitamin D ambil merek Puritans Pride. But again, any brand will do ya. Menurut gue sama bagusnya. Pastikan konsumsi banyak protein, buah, dan sayur. Dari dokter di kantor suami, kami juga dapet resep antibiotik dan antivirus. Karena gabisa beli obat ke luar, gue langsung googling apotik besar yang deket rumah dan minta nomor WA mereka. Gue juga cari tau nomer WA indomaret di apartemen gue. Bersyukur banget segalanya dimudahkan dengan teknologi karena kebutuhan obat dan perlengkapan gue bisa dipesan 1 text away, dikirim pakai ojol, dan sampai di depan pintu unit dengan aman. Begitu pun dengan kebutuhan makanan, selain banyak temen-temen yang kirim makanan, madu, buah, obat-obat herbal, juga yang kirim semangat dan doa (we thanked you so much, you know who you are!), kami juga sangat dimudahkan dengan aplikasi semacam sayurbox, happy fresh, gofood, grabfood, tokped, dan shopee.
- Taking further measures to our hygiene routine. Tiap hari tentu mandi bersih dan cuci tangan ya kaya pejabat (waw).. kita juga nambah rutinitas bebersih untuk beberapa hal. Pertama, kumur dengan cairan antiseptik (betadine gargle biru). Kedua, cuci hidung religiously (pakai nasal spray merek Sterimar/Respimer/Betadine/Breathy; atau bisa pakai spuit 20cc + air infus). Ketiga, semprot surface yang mudah kotor dengan disinfectant (saniter/dettol/karbol). Keempat, sebenernya ga berhubungan ama hygiene si tapi bermanfaat tuk asupan vitamin D yaitu berjemur minimal 30 menit sehari. Ah kalo inget berjemur, gue suka inget keinginan ke Bali yang sekarang udah gue kubur dalam-dalam wqwqwq.
- Makan enak. Paksain makan walau rasanya gaenak. Sel-sel yang dirusak sama si virus harus direcover dengan cepat. Mau gamau, lo harus makan untuk memudahkan proses itu. Waktu anosmia (hilang indra penciuman) dan ageusia (hilang indra pengecap), rasanya dunia hampa banget. Dua gejala ini yang bener-bener gong segong gongnya bikin sedih T_T (alhamdulillah gue engga mengalami sesak). Tapi beneran ya, parfum paling nyegrak yang ada di rumah gue itu gue coba cium, sampe gue tempelin di lobang idung, dan ga ada baunya sama sekali. Rasain makanan juga ko ya ga jelas, kadang asin, kadang manis, kadang cuma kerasa ngeresep-ngeresep doang di lidah. Tapi, tetep harus makan suapaya indra-indra bisa kembali berfungsi normal. Makan buah bantu banget naikin selera makan karena gue masih bisa rasaian manis walaupun agak kedistorsi. Jadi stok buah yang banyak kaya apel, jambu merah (untuk jus jambu), pisang, dan jeruk. Bisa juga ngemil makanan yang bite size kaya brownies, beng-beng, cookies, marie regal. Hindari makanan berminyak dan pedas supaya tenggorokan lo engga ngamuk.
- Minum air putih. You know what to do. That will help you. A lot. Like a lot.
- Latihan pernafasan. Konon kena covid rentan bikin orang kena penyakit paru. Oleh karenanya, wajib latihan pernafasan supaya at least ga muncul gejala sesak. Untuk caranya, gue ngikutin video youtube di bawah ini. Gue juga sempet ikutin saran untuk tidur tengkurap untuk memastikan udara mengalir ke paru-paru bagian atas. Cuma jujur tidur tengkurap itu menyiksa, jadi mungkin bisa dicoba tapi gausah dipaksa ya.
- Jangan stress. Di isoman hari ke-5, gue sempet berkeluh kesah dan menangos ke suami karena rasanya ko cape ya gabisa cium bau, gabisa rasain makan, trus jujur khawatir muncul gejala lain seperti sesak nafas. Anxious, parno sendiri. Bayangin aja, beberapa kali gue makan dan gue muntahin semuanya. Namanya muntah pasti perut kosong harus diisi lagi. Eh pas mau isi perut, makanannya ga ada rasanya. Evil loop bund. Nangos aja. Yuyur walaupun disuruh jangan stres, stres juga bund mengalami sakit yang belum jelas apa juntrungannya ini. Ga kebayang untuk yang harus dapat penanganan ekstra karena bergejala sedang apalagi berat. Rasanya impossible engga stres sih... Tapi kalo bisa, kendalikan emosi. Lakukan hal-hal yang senang: nonton, olahraga ringan, baca buku, gambar, zoom call sama temen-temen, dan juga tentu saja tidur cukup.